Uh, hei.
Hembusan napas panjang sementara Evan mempererat genggamannya kepada telponnya.
Bagaimana kabarmu? Yeah. Uh.
Wow. Kapan terakhir kali ia berhasil membuat sebuah pembicaraan yang bisa berjalan lancar? Ini memalukan. Seharusnya ia tidak usah menelpon saja. Ide brilian siapa untuk menelpon mantan pacarmu?
Kata itu agak menghantamnya, oh ya.. Mantan.
Aku mendengar dari Leo kalau kamu sudah memiliki orang lain.
Kalimat itu keluar dengan lancar, tidak seperti sebelum – sebelumnya.
Jujur saja aku agak kaget waktu pertama mendengarnya. Bukan karena kamu tidak bisa mendapatkan cowok lain, karena percayalah, kamu bisa mendapatkan cowok manapun di dunia ini dengan dirimu seperti itu.
Evan terkekeh sedih. Ingat bagaimana aku selalu cemburu mengenai hal itu? Jangan kuatir, aku tidak menelpon untuk memrotes kelakuanmu lagi. Kamu sudah bukan milikku.
Aku lebih ke arah kaget karena aku sama sekali tidak mendengar kabarmu sejak terakhir kita bertemu. Dan itu jujur saja membahagiakan sebenarnya– mengingat bagaimana kau membenciku dan aku juga, jangan kuatir.
Aku tidak menelpon untuk baikan. Apa yang kita miliki sudah berakhir dan aku tidak ingin mengulang lagi kesalahan yang sama. Semua kebohonganmu dan ketidak sabaranku dan omong kosong yang kita sebut cinta dulu itu. Aku tidak mau itu semua. Dan percayalah, aku tidak mau dirimu lagi. Berpikir untuk bertemu denganmu adalah salah satu mimpi burukku sekarang.
Evan mendengus.
Aku cuma kesal ketika mendengar dirimu bersama orang lain.
Evan menggigit bibir bawahnya, menurunkan hp-nya, menekan tombol call dan menunggu nada sambung.
“Halo?” suara familier itu menjawab.
Tapi Evan malah mematikan HP-nya, menghembuskan napas pajang, lalu berjalan pulang.
Aku sering begitu…….
LikeLike