Handphone Stalker pt.7

“Jawaban macam apa itu?” tanya Ina.

Lucia mendengus, “Ini namanya flirting, Na.” kata Lucia, menekan tombol back dan menglock HPnya.

“Oh, Tahap flirting, hm?” tanya Ina, menggerak – gerakkan alisnya. Lucia tertawa, menjatuhkan dirinya ke tempat tidurnya. Ina menginap malam ini untuk belajar bareng.

“Kamu serius mau dengan Katsu?” tanya Ina, di sebelah Lucia.

“Kurasa agak terlalu awal untuk berkata apakah aku serius atau tidak dengan dia. Secara teknis aku nggak tahu apa – apa tentangnya, dan bisakah kamu bayangkan jika aku menceritakan ini ke mamaku?”

Ina menarik napas dan berkata dengan nada melengking yang dibuat – buat, “Kamuuu mau pacarann sama anak cowok yang nggak kuliahh dan mencuri hpmuuuu?!!”

“Katsu nggak curi HPku, sih.”

Ina menghela napas, “Oke, tapi serius?”

Lucia mengangkat bahunya, “Kurasa aku hanya melihat ke mana ini akan pergi. Dia cowok yang menarik, jika itu yang kamu tanya. Maksudku, jika dibandingkan dengan Gabriel–”

“Lus. Jangan bandingkan dengan Gabriel. Semua cowok lebih baik daripada bajingan macam Gabriel.” kata Ina dengan datar. Lucia mengatupkan mulutnya, berpikir keras.

“Oke, mungkin kamu ada benarnya.” Ina memberinya pandangan tidak terhibur. “Hei, aku nggak buru – buru untuk pacaran, jika itu yang kamu kira.” kata Lucia defensif.

“Yeah tapi jika kamu mau pacaran..” kata Ina. Lucia terdiam, memikirkannya. “OK. Pro,” kata Lucia mengangkat 1 jari, “Dia suka pizza. Dan dia benar – benar lucu. Meskipun kadang aku nggak ngerti selera humornya juga sih… uh.. Dia lumayan ganteng. Dan dia baik, kayak siapa yang masih mau mengembalikan HP ke orang yang punya di jaman sekarang? Dan dia punya toko HP! Dia bisa saja menjualnya lagi.” kata Lucia.

“Mm-hmm..” kata Ina. “Tapi?” Lucia menghela napas. “Tapi kontranya dia nggak kuliah. Kayak. Why bruh? Dia memberikan alasan terbodoh yang pernah kudengar tentang ‘nggak mau membuang waktu belajar’. Kayak. Kamu bakal punya 1001 kesempatan lebih dengan sebuah ijazah dan gelar S1 setelah 4 tahun belajar! Entahlah. Aku tahu ada orang – orang macam dia yang memilih bekerja daripada kuliah tapi aku nggak ngerti mereka.”

“Mungkin dia nggak terdukung secara finansial,” kata Ina. Lucia mengangkat bahu, ia juga sempat berpikir itu.

HP Lucia bergetar, ia menyambarnya cepat. “Katanya mau flirting. Kok cepat banget jawabnya,” cemooh Ina. Lucia hanya tertawa sambil mengangkat jari tengahnya ke Ina.

Dia keluar kamarnya, menjawab telpon, “Hei, Ina denganku hari ini.” katanya ke telpon.

“Oh,” kata cowok di ujung satunya, kakak laki – lakinya Ina. “Sial. Makanya kamu nggak jawab chatku?”

“Yeah, sori. Aku takut dia baca lalu tahu tentang surprisenya.”

“It’s ok. Seharusnya aku lebih peka, heh.”

Lucia tertawa pelan. “Aku lagi di luar kamarku sekarang. Aku tidak punya banyak waktu, apa yang kamu mau tanya, Ren?”

“Uh.. Balon, sebenarnya. Aku tahu kita janjiannya warna ungu, tapi aku hanya menemukan warna merah dan biru.. Maksudku warna merah dan biru kalau digabung jadi ungu sih, heh,” Lucia mendengus pelan juga, “Tapi, yeah.. apakah itu tidak apa – apa?”

“Yeah, yeah. Yang penting ada balon saja, haha.”

“Ok, bagus. Well, itu saja sih sebenarnya. Sori, terdengar seperti alasan bodoh untuk menelpon, ya?”

“Tidak, tidak,” kata Lucia buru – buru. Rendy selalu sungkan dengannya, bahkan meskipun ia lebih tua beberapa tahun. Ia sudah kenal Rendy selama ia kenal Ina. Dia tidak sedekat ini dengan Ina dulu, sih. Tapi sejak kuliah mereka jadi sangat dekat dan Lucia ingin memberikan surprise birthday party untuk Ina. Jadi ia kontak satu – satunya orang yang ia bisa ajak untuk kerja sama. Rendy sangat membantunya dalam persiapannya selama ini.

Terdengar suara pelan dari komersial audio yang selalu main di supermarket, “Kamu di supermarket?” tanya Lucia.

“Yeah, barusan membeli balonnya ini.”

“Oh OK.” Mereka diam sebentar. Lucia menunggu Rendy berkata sesuatu tapi Rendy hanya tertawa canggung pelan dan berkata, “Sori, kurasa aku hanya memperlama pembicaraan ini.” Lucia menyandarkan badannya ke dinding. Memandangi dinding di depannya sambil memerhatikan apa yang Rendy katakan.

“Aku rasa aku hanya senang berbicara denganmu.” kata Rendy agak pelan. Lucia mengerjap, “Apa?”

Rendy tertawa pelan, “Uh, yeah, bukan waktu tepat untuk mengatakan hal – hal ini. Sori. Uh, kabari aku kalau kamu sudah memesan cakenya.”

“Ye-yeah, aku akan memesannya besok.” kata Lucia, memutuskan tidak menanyakan kalimat sebelumnya.

“Ok, thanks Lus.”

“Sama – sama, Ren.”

Lucia menutup telponnya. Ia menyadari ia tersenyum kecil. Lalu ia menglock HPnya, membuatnya silent dan masuk ke kamar lagi.


Katsu terantuk dan nyaris menabrakkan kepalanya ke lemari kaca di bawahnya. Dia mendudukkan dirinya dengan tegak, melebarkan matanya dan berusaha bangun.

Dia menggelengkan kepalanya, menghembuskan napas lalu memajukan badannya, melihat ayahnya duduk di kasir sambil membaca koran dengan santai.

Katsu menyandarkan badannya lagi, sebelum ayahnya bisa menyadari ia memandanginya. Dia memandangi deretan HP murah di kaca bawahnya. Dia mengeluarkan HPnya sendiri. Dia tidak mau mencari Lucia terlalu sering, tapi sudah beberapa hari lewat dan tiap pagi ia selalu bertanya ‘Apakah kamu akan datang ke sini hari ini?

Dan Lucia selalu membalas dengan ‘mungkin 😉

Yah mungkin jika ia tidak harus di toko ini karena Lucia dia akan ikut dalam permainan tarik-ulur ini. Tapi Katsu mulai kehabisan kesabaran dan ia agak BT Lucia tidak pernah membalas dengan benar.

Dia tidak bisa mengatakannya, tentu saja. Apa yang bakal ia katakan, coba? ‘Yang benar saja Lus. Aku mau mencoba cari pekerjaan lain.’ ? Ia hanya di sini karena ia berusaha—

Katsu terdiam, mengerutkan dahinya. Kenapa dia bahkan di sini memangnya? Hanya untuk Lucia? Seseorang melewati depan toko mereka, memandangi satu HP dengan agak lama. “Silakan,” sahut Katsu. Orang itu tampak agak kaget dan tersenyum sopan sambil berjalan agak cepat, “Itu HP second,” kata Katsu ke punggung orang itu yang lalu berhenti berjalan dan menoleh ke Katsu.

Orang itu mendekat lagi, “Second?”

“Yeah. Sudah bekas. Tapi masih bagus, kayak masih baru.”

“Kok sudah second?”

“Jangan tanya aku, orangnya yang jual lagi ke kita. Kamu mau kubukakan? Biar kamu buktikan sendiri kalau seperti baru.”

Orang itu tertawa gugup, tapi Katsu sudah menarik tangga kecil dan mengambil HP itu dari etalase depan toko. “Bukankah itu model baru?”

“Setengah tahun lalu baru keluar,” jawab Katsu, membuka segelnya dan menunjukkan HP itu ke orangnya yang memegang dengan hati – hati. “Yang terkenal warna pink-nya. Tapi jujur saja nggak ada bedanya sama yang warna putih ini.”

Orang itu memegangnya, membaliknya dan terlihat sangat perhatian. Katsu menggaruk dagunya, “Terasa ringan, kan? Katanya yang teringan dari sejarah brand itu. Tapi baterainya bisa tahan seharian. Mereka pakai teknologi baru.”

“Seharian?”

“Yeah. Tapi jika kamu cuma mau baterai agak tahan lama kita juga jualan baterai baru untuk HPmu yang sekarang.”

“Memangnya baterai HPku bisa diganti?”

“Well, yeah.” kata Katsu, menarik sebuah kertas dengan detail harga baterai – baterai HP yang sudah dilaminating dan menunjukkannya ke orangnya. “Tergantung HPmu, sih. Kadang lebih murah untuk beli HP baru, jujur saja. Kamu dapat semua teknologi barunya DAN baterai tahan lama, lalu kamu bisa jual HP lamamu dengan harga yang masih agak tinggi daripada menunggu sampai HPmu rusak dan beli HP baru di pasaran.”

Orang itu mendengus, “Kamu berkata itu karena kamu jualan HP.”

“Well yeah, tapi karena aku jualan HP aku juga yang paling ngerti hal – hal ini.” kata Katsu.

Orang itu tertawa.

“Kamu tahu apa? Bisakah kamu simpan ini untukku? Aku mau memback-up file – fileku di HP lamaku dulu. Tapi aku mau membeli itu.” kata orangnya. “Kita punya kebijakan cuma boleh menyimpan barang untuk pembeli selama 36 jam,” kata Katsu, menunjuk ke papan dengan tulisan yang sama di seberang mereka.

“Jika kamu mau memback-up file – filemu aku ada laptop dan kamu bisa beli flashdisk di sini juga.” tambah Katsu. Orang itu tertawa pelan, “Aku akan kembali besok. Simpanlah saja buatku.”

“Okay,” Katsu mengambil formulir kecil dari satu laci, “Aku akan mengisi formulirnya untukmu. Nama?” Ketika setengah dari formulir itu sudah Katsu isi, ia mendengar ayahnya berdiri dan berjalan mendekat kepadanya. Orang itu tersenyum sopan ke ayahnya yang tersenyum lebar dan memasukkan HP itu kembali ke kotaknya.

Orang itu pergi tak lama kemudian, dan ayahnya langsung menepuk pundaknya dengan keras, “Kamu baru saja menjual HP pertamamu dalam hitungan hari setelah bekerja di sini,” kata ayahnya, terdengar bangga sekali.

Katsu menggosok – gosok pundaknya, “Aku hanya bakal seminggu di sini, ingat?” katanya agak kasar.

Ayahnya hanya terkekeh pelan, tidak mendengarkan sama sekali. “Aku selalu tahu kamu punya bakat berjualan,”

Katsu duduk di kursinya, tidak membalas tapi semakin BT. Masih belum ada jawaban dari Lucia. “Kamu mau es krim nanti malam?” tanya ayahnya.

“Apakah ayah serius mau menyogokku untuk tetap di toko dengan es krim?” sambar Katsu. Tapi ayahnya tetap tersenyum dan terlihat bahagia, berjalan kembali ke kasir sambil berkata, “Belilah 1 tub untuk dirimu sendiri kamu berhak mendapatkannya, Katsu.”

Katsu tidak membalas, menempelkan dagunya ke lemari kaca dan menggerutu pelan.

2 thoughts on “Handphone Stalker pt.7

Add yours

  1. oke aku tau fiksi romansa pasti ada cowok kedua, tapi serius?? (ya dia serius plis terima kenyataan)
    ah, dan aku penasaran kenapa Katsu menolak mentah mentah bekerja di toko padahal dia sebagus itu memasarkan barang-barang tokonya, hm.
    oh, yeah, benar, orang-orang yang tidak kuliah memang sering direndahkan, maksudku, secara tidak langsung ya nggak sih.. kecuali dia sukses seperti siapa itu pembuat facebook, entahlah.
    aku senang perlahan-lahan semuanya dipertanyakan dan dibuka satu persatu soalnya aku gak pandai buat seperti itu??
    also, aku senang kau update secepat ini??

    Liked by 1 person

    1. alasan aku update secepat ini jujur saja karena aku mau oktober isi blogku sudah bersih dari romansa haha. Aku merasa kamu bakal agak kecewa dengan bagaimana update terbaru berjalan! :’D

      Like

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

Signe Hansen

Lifestyle, Plants and Everything In-Between

Musings of an ordinary soul

A place where i’m going to pen down my thoughts about the photographs that i take. Be my listener. Be my audience. Be my speaker. You and Me. So what say? Let’s begin.

Cokelat dan Hujan

Penikmat cokelat hangat dan hujan

JENITA DARMENTO

Indonesian Travel, Food and Lifestyle Blogger

Misty Angel

Whispers in the woods

Field of Thoughts

I hereby sow my thoughts and interests here.

Talanimo

Where all thoughts are spoken

Teras Rumah

Bercerita di sini

Bibliophile

Seorang anak kecil pun bahagia ketika bisa membaca dan menulis