Handphone Stalker pt.8

Lucia datang ke toko 2 hari setelah Katsu menjual HP pertamanya.

Katsu lagi tengah – tengah menjawab pertanyaan seseorang tentang harga casing HP ketika Lucia muncul dengan senyuman lebar. “Hi!”

“Hei,” kata Katsu, agak kaget. Dia tidak mengontak Lucia sama sekali selama 2 hari terakhir. Sebagian alasannya karena ia BT banget kemarin lusa dan Lucia tidak mencarinya juga. Ia tidak menyangka Lucia akan muncul tanpa mengontaknya.

Dia memandangi Lucia sebentar, tidak mengatakan apa – apa, lalu– “Sori, bisakah kamu tunggu sebentar?” katanya. Lucia mengangguk, “Yeah, tentu saja!” Katsu mengangkat 1 tangannya, kembali berbicara dengan si pembeli yang masih galau antara 2 casing.

Ketika akhirnya si pembeli itu memilih motif hello kitty, Katsu bisa berjalan ke Lucia dan berbicara.

“Aku tidak menyangka kamu akan ke sini hari ini,” kata Katsu, menunduk sedikit ke bajunya yang hanya T-shirt dan jeans biasa.

“Sori, aku agak sibuk belakangan, heh. Persiapan ujian dan semacamnya..” kata Lucia, Katsu tersenyum kecil, “Jadi, eh. Layar HP, kan?” kata Katsu. Lucia mengangguk, mengeluarkan HPnya. Katsu menekan tombol home dan menyadari kali ini ada passwordnya.

“Uh–”

“Oh, sori,” seru Lucia, mengambil HPnya lagi dan menekan settings, buru – buru mengembalikannya ke tidak di lock lagi. Katsu memandanginya, menyadari Lucia terlihat lebih capek dari terakhir kali mereka bertemu. Tapi dia terlihat lebih semangat dari biasanya juga.

“Nih,” kata Lucia, menyodorkan HPnya lagi. Katsu mengambilnya, memegangnya di tangannya dan mereka saling pandang untuk sesaat. Lucia memiringkan kepalanya, “Ya?”

“Uh. Mungkin akan makan waktu agak lama, jadi– uh.. sabarlah.” kata Katsu. Lucia tersenyum, tapi terlihat agak heran, “Uh, OK??”

Katsu mengangkat HPnya Lucia dan menunjuk ke bagian belakang toko, “Aku, uh, akan mengerjakannya sekarang.”

Katsu berjalan cepat, “Ngapain?” tanya ayahnya. “Ganti layar HP.” balas Katsu cepat sambil membuka lock HPnya Lucia. Dia menarik layar baru yang ia sudah siapkan, tapi jempolnya membuka aplikasi messages. Apa yang kamu lakukan? Mata Katsu membaca cepat nama – nama yang ada. Gabriel tetap di bawah. Mom juga. Ina di atas, tapi tidak paling atas. Tidak. Yang paling atas adalah–

download

WHO THE FUCK IS THIS GUY?!

Tunggu, Katsu, kamu harus tetap tenang. Katsu menarik napas dalam – dalam, menghembuskannya pelan – pelan. Dia mematikan HPnya Lucia dan mengganti layarnya, berusaha memikirkan skenario – skenario.

Mungkin itu teman sekelasnya. Dia mungkin kerja kelompok atau belajar bareng atau– tapi ada apa dengan gombalan murahan itu? Mungkin cuma cowoknya aja yang interested sama dia tapi– TAPI ADA APA DENGAN EMOTICON BLUSHING ITU, HM? 

Buat apa kamu peduli? Dia apamu?

Katsu menggerutu keras – keras. “Kamu kesulitan?” tanya Ayahnya melonggokan kepalanya. “AKU BAIK – BAIK SAJA,” seru Katsu, sedikit terlalu keras. Ayahnya menaikkan satu alis, tapi kembali membaca koran.

Katsu menggigit bibir bawahnya, mengerutkan keningnya, aku membuang waktuku di toko ini hanya untuk mencoba membuktikan ke cewek yang tidak sepenuhnya kukenal kalau aku akan berada untuknya? Apa – apaan denganku? 

Untuk cewek yang mungkin suka dengan orang lain.

Aku tidak tahu itu. Mungkin Lucia tidak menyukainya. Mungkin ini salah paham.

Ngapain aku peduli?

Katsu menyalakan HP Lucia yang sekarang sudah memiliki layar yang sempurna lagi. Katsu menghela napas, berdiri dan keluar dari area belakang toko. “Itu tidak selama yang kukira,” kata Lucia tersenyum. Katsu tersenyum balik dengan sedikit paksa, “Hei, uh.. kamu mau berjalan sebentar?” tanyanya.

Lucia memiringkan kepalanya, “Uh.. aku sebenarnya mau segera pulang karena mau belajar lagi..”

“Oh. Well. Uh, okay.” kata Katsu, menggaruk leher belakangnya, “Sori, yeah.” Senyum Lucia pelan – pelan menguap. Ada apa dengan Katsu? “Um, aku punya setengah jam, jika kamu mau..?” katanya ragu – ragu. Katsu mendongak, “Oh, uh, OK. Um, aku akan menunggu di luar.”

Katsu memasukkan tangan ke kantong celananya, melihat Lucia berbicara dengan ayahnya di kasir.

Lucia keluar tak lama kemudian, Katsu mengajaknya ke food court, di mana mereka duduk berseberangan. “Kamu diam hari ini,” kata Lucia akhirnya.

“Kamu juga,” kata Katsu agak defensif. Lucia mengerutkan keningnya tapi lalu menoleh ke arah lain.

“Uh, bagaimana kuliah?” tanya Katsu.

“Seperti biasa,” balas Lucia. “Bagaimana tokomu?”

“Itu bukan tokoku, itu toko ayahku.” balas Katsu.

“Kan sama saja?” tanya Lucia. “Tidak, Lus,” Katsu menyambar. Lucia sedikit melompat. Katsu menyadarinya. Ia menghela napas, “Aku nggak kerja di sana.”

“… Well, yeah, karena kamu memilikinya?” tanya Lucia heran.

“Tidak aku–” Katsu mengangkat kedua tangannya, berusaha menjelaskan dengan jemarinya. “Tidak. Itu toko ayahku dan aku bakal memilih kerja di tempat lain jika aku bisa.”

“Kenapa tidak? Tidak terdengar seperti kamu punya pekerjaan lain jadi kamu tidak memiliki opsi terlalu banyak juga, Kats. ”

“Aku tahu itu,” gumam Katsu agak kesal. Lucia menopang dagunya, “Terus?”

“Kamu juga tidak akan suka kalau orang tuamu menganggap kamu lahir hanya untuk memenuhi keinginan mereka,” kata Katsu. Dia baru menyadari apa yang ia katakan dan betapa salah perkataan itu setelah melihat muka Lucia yang tersinggung.

“Kamu sudah membaca messagesku untuk tahu itu salah,” kata Lucia dingin. Katsu ingat ibunya Lucia yang tidak mau Lucia kembali untuk natal karena ia putus dengan menantu idaman.

“Sori.” kata Katsu pelan. HP Lucia bergetar, Lucia membukanya, mengetik dengan cepat lalu memasukkannya kembali ke tasnya. Katsu memandanginya. Lucia mengangkat mukanya, “Apa?” tanya Lucia.

“Tidak apa – apa,” balas Katsu, bermain dengan jari jemarinya. Mereka diam lagi. Lucia menghela napas, “Oke, Kats. Aku harus pergi sebentar lagi, apakah kamu akan bercerita atau tidak? Apakah kamu bertengkar dengan ayahmu atau semacamnya? Kenapa kamu super galau seperti ini?”

“Apa? Aku nggak– aku nggak tengkaran dan aku nggak galau,” protes Katsu.

“Well kalau begitu kenapa kamu meminta kita berbicara?” tanya Lucia.

“Apakah aku tidak boleh berbicara denganmu?” tanya Katsu balik, baru menyadari hal itu.

“Bukan itu maksudku,” kata Lucia. Mereka diam lagi. HP Lucia bergetar lagi, tapi Lucia tidak mengeceknya. “Kamu boleh membukanya,” kata Katsu. “Tidak ingin seseorang khawatir mencarimu.” tambahnya dengan nada dingin.

Lucia memandangi Katsu dengan heran. Lalu pelan – pelan ia melebarkan matanya, “Apakah kamu membuka HPku lagi?”

Katsu membuka mulutnya lalu menutupnya. Okay, I think I fucked up. 

Lucia mengambil tasnya dan langsung berdiri, berjalan pergi.

“Lucia, tunggu!” seru Katsu, mengejarnya, “Sori! Aku tidak–” Lucia membalikkan badannya, terlihat sangat marah, “Tidak bermaksud untuk, eh…”

“Tidak bermaksud untuk merusak privasiku, Katsu? Hm?”

“Well, aku pernah merusaknya sekali,” kata Katsu, berusaha membuat lelucon untuk meringankan suasana. Rencana itu gagal total. Katsu berdeham, “Aku tidak seharusnya melakukannya.”

NO SHIT!

“.. Sori.”

“Kamu kira sori akan membantu?!” tanya Lucia, Katsu mengangkat kedua tangannya, “Apa yang kamu mau aku katakan kalau begitu?” Lucia mengerang keras – keras, dan membalikkan badannya, berjalan pergi.

“Lus–”

“OK, KAMU TAHU APA? DIAMLAH.” seru Lucia, menuding Katsu dengan satu jari. Katsu mengangkat kedua tangannya, mulai takut. “Aku berterima kasih karena kamu mengembalikan HPku dan kamu juga membantuku memperbaikinya. Tapi kamu melewati batas ketika kamu membukanya tanpa izinku ketika kamu sudah tahu HP itu milikku.”

Katsu menelan ludah. Itu benar.

“BELUM LAGI FAKTA bahwa kamu lalu menyeretku untuk menemanimu dan merusak moodku hanya karena kamu tidak cukup dewasa untuk melepaskan egomu dan menerima fakta bahwa ada beberapa hal di dunia yang tidak bisa kita ubah dan itu termasuk memiliki orang tua yang kita miliki. KAMU tidak mau kuliah dan KAMU mau kerja apapun. APA SALAHNYA BEKERJA DI TOKO KELUARGAMU SENDIRI?”

“Hei, kamu tidak tahu apa – apa tentang itu!” sela Katsu defensif.

“Kamu benar, tapi aku tidak peduli,” kata Lucia. Itu tidak terdengar seperti argumen yang meyakinkan. “Kamu seorang bajingan, Katsu.” Lucia berkata. Katsu mengerutkan keningnya, “Kamu tidak benar – benar mengenalku untuk bisa mengatakan itu,” protesnya.

“Dan kamu tidak benar – benar mengenalku juga, jadi kita impas.” kata Lucia kasar. Dia membalikkan badan dan meninggalkan Katsu. Dia tidak mengejarnya kali ini. Katsu menghela napas panjang dan kembali ke toko.

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

Signe Hansen

Lifestyle, Plants and Everything In-Between

Musings of an ordinary soul

A place where i’m going to pen down my thoughts about the photographs that i take. Be my listener. Be my audience. Be my speaker. You and Me. So what say? Let’s begin.

Cokelat dan Hujan

Penikmat cokelat hangat dan hujan

JENITA DARMENTO

Indonesian Travel, Food and Lifestyle Blogger

Misty Angel

Whispers in the woods

Field of Thoughts

I hereby sow my thoughts and interests here.

Talanimo

Where all thoughts are spoken

Teras Rumah

Bercerita di sini

Bibliophile

Seorang anak kecil pun bahagia ketika bisa membaca dan menulis