AYWMEN Bab 27 : Just Say Goodnight

Aku mengetuk pintu rumah Aaron dengan gaya koboi yang dikejar unta dehidrasi. Aaron membukanya dengan muka ceria. “ Hei! What’s up..” ia berhenti saat melihat ke arah mukaku.  “ Ada apa denganmu? Kamu kelihatan seperti barusan memuntahkan sapi.”

“ Hei, cuma aku yang bisa memuntahkan sapi!” protes sebuah suara dari dalam yang aku kenali sebagai milik Hugo. Ethan tertawa. Aku merasa kepalaku yang dari tadi cenat – cenut karena marah mulai mereda. Aku tersenyum lemah, “ Hanya berargumen kecil dengan ortu-ku.” “ Oh, itu menyedihkan…” ejek Hugo sambil mendorongku untuk masuk ke kamarnya Aaron. Aku duduk di salah satu kursi yang ada, lalu mencoba ikut dengan percakapan yang dilakukan oleh Nerd Club. Ethan cerita folder milik seseorang yang ia hack ternyata milik walikota! Aaron bercerita ia akhirnya tahu berapa panjang segulung tissue toilet, 300 meter! Hugo bercerita ia akhirnya bisa makan ikan dan sekarang berusaha makan ayam! Tapi pikiranku tetap tidak bisa lepas dari fakta aku akan pindah. Saat akhirnya mereka mengalihkan topik ke kenapa joystick disebut ‘joystick’, aku tidak tahan lagi. “ Itu karena joystick adalah stick yang memberikan joy. ( tongkat pemberi kebahagiaan). Dan guys, aku punya berita penting,” mereka semua menatapku heran. Dengan tegang, aku mengatakannya sedikit terlalu lancar untuk orang yang tidak berani mengatakannya.

“ Aku akan pindah.”

Sesaat terdapat keheningan. Lalu Ethan tertawa, “ Hahaha… itu tidak lucu, Ryker.” Hugo dan Aaron saling mengerling. Lalu tiba – tiba mereka juga ikut tertawa. “ Yeah, Ryke. Jayus.” “ Tidak aku serius!” kataku. “ Yeah Ryke, carilah jokes yang lain, joke yang dilontarkan Ethan saja masih lebih mending.” “ Hei, kamu mau cari perkara?!”
“ Ahahahaha…” “ Guys!! AKU SERIUS!” mereka menatapku kaget.

“ Serius?” ulang Hugo heran.
“ Serius.”
“ Kamu? Pindah?”
“ Ya.” Kataku, mulai kembali takut. Apa reaksi mereka?
“ Ta- tapi… ke mana?!” tanya Aaron cepat.
“ Jepang..”
“ Jepang?! Kenapa kok kamu haru—“
“ Ashley sakit, kata dokter yang memeriksanya bila dia di sini terus nanti bisa sakit pneumonia atau apalah itu.”
“ Ta-tapi… urgh.. kapan kamu pindah?!” tanya Hugo.
“ Aku tak tahu. Kurang dari seminggu, kata Mom dan Dad. kemungkinan besar malah kurang dari 5 hari…”
“ Jadi kamu akan pindah.” Kata Ethan. Di matanya terdapat suatu aura dingin.
“ Ya… sori.” Kataku.

Sesaat semuanya hening. Tiba – tiba..

“ Sialan kau Ryke! Katamu kamu tidak akan pindah!” teriak Aaron sambil menarik kerah bajuku.
“ Aku tidak pernah mengatakan itu! Aku cuma bilang Mom dan Dad bilang tidak akan pindah lagi!” kataku sambil menepis tangannya dan mencari keseimbangan.
“ Itu sama aja, dodol!”
“ Tentu saja tidak, itu..”
“ Aaargh! Lupakan sajalah! Keluar sana!” teriak Aaron sambil mengusirku keluar.
“ What? Tapi aku..”
“ Keluar!”
“ Hugo, jangan ikut – ikuta—“

Mereka menyeretku dengan menarik kerah bajuku, “ Gu-guys! Hei, hei, hei, aaargh!” tiba – tiba aku dilempar ke taman depan rumahnya Aaron. “ Tetap di luar, pengkhianat!” teriak Hugo dramatis. Ethan dan Aaron menatapku sinis. Dengan sekali bantingan pintu rumahnya Aaron ditutup. “ Guys—hei, ak-aku, h- heeei!! Ayolah man!!!” aku menyahut – nyahut dengan gagap. Tidak ada jawaban. Aku menghela napas panjang. Aku menggaruk leher belakangku sambil melihat ke arah pintu itu lagi. lalu berteriak dengan keras, “ AKU JUGA GAK INGIN PINDAH TAHU!” lalu dengan langkah penuh beban, aku berbalik dan berjalan ke rumahku lagi.

Apakah ada yang bisa membuat hari ini lebih sial? Kita akan pindah secepat mungkin, Mom dan Dad menganggapku gila dan sekarang Nerd Club membenciku. Mungkin aku bahkan sudah bukan seorang anggota lagi. Tiba – tiba sekelompok anak yang sedang naik sepeda sambil ngebut di sebelahku membuat air sabun mobil yang sedang dicuci mencipratiku. “ Hei!” teriakku ke mereka, mencoba terdengar marah. Tapi lalu mencueki mereka dan kembali berjalan sambil memeras bajuku. Sial benar.. persis setelah itu aku menabrak tiang karena menunduk untuk memeras baju tanpa memerhatikan jalan. BRAK! “ Ow…” sambil memandangi tiang listrik itu dengan benci, aku menjauhinya dan berjalan ke rumah.

Saat membuka pintu rumah, hal pertama yang aku sadar adalah Mom dengan baju rapi sedang menungguiku. “ Kemana kamu dari tadi?” “ Ke rumahnya Aaron.” “ Ngapain?” “ Beritahu club-ku aku akan pindah.” Kataku lirih, mengingat muka mereka. Mom terdiam. Lalu ia mengerling sekali lagi ke bajuku yang basah kena cipratan air sabun lalu menyuruhku mandi. Aku menurut. Bahkan di dalam kamar mandi yang biasanya memberi ketenangan batin, aku tidak bisa tenang. Saat aku sudah selesai shower, aku diam memandang cowok berambut basah yang memandangiku balik di kaca. Aku kelihatan seperti orang yang mau bunuh diri, persis dengan aura hitam di belakangnya dan lingkaran gelap di bawah mata. Sambil mengeluh pelan, aku menarik handuk dan mengeringkan rambutku. Saat aku keluar, Ashley sedang menari – nari dengan dressnya yang pink. “ Ash, kamu masih belum boleh berdiri dari tempat tidur.”

“ Kan terserah aku mau ngapain. Ya kan, teddy?” tanyanya sambil memeluk teddy bearnya lebih erat. Aku bersumpah, kalau teddy bear itu hidup, ia akan mati tercekik. Aku memutar bola mataku. “ Mom akan marah kalau melihatmu seperti itu.” “ Ia tidak akan marah.” “ Ya, ia akan.” “ Tidak!” katanya dengan keras kepala. aku mengeluh keras – keras lalu dengan paksa menyuruhnya kembali ke kamarnya yang full pink. “ Tidur.” “ Nggak mau!” “ Kalau gitu istirahat!” aku hendak keluar ketika tiba – tiba ia berkata,

“ Ce Alice nggak pernah kayak gitu! Tunggu hingga ia datang sebentar lagi.” aku membeku. “ Hah?” tanyaku sambil membalikkan badanku. “ Mom berkata Ce Alice akan datang bentar lagi untuk menjagaku sementara mereka pergi ke bayi kota!”  “ Bayi kota? Bayi… what the..Apaan sih maksud—oh. Balai, Ash. Balai kota.” Koreksiku. “ Yang penting Ce Alice akan datang.” Ulangnya, dan seketika aku merasakan panik menjalar ke kepalaku. Aku keluar dari kamarnya Ashley dan buru – buru ke Mom. “ M-mom.” Kataku, saking paniknya,

“ Alice, Alice, oh, shit, Alice!! Ia akan datang?!” “ Iya, aku baru saja menelponnya. Kenapa?” “ ARGH! TIDAK!” teriakku ke diriku sendiri. Mom menatapku kaget. “Apakah Mom sudah mengatakan kita akan pindah?!” tanyaku cepat. “ Belum.. aku baru akan mengatakannya saat ia datang,” “ JANGAN BERITAHUKAN DIA!” teriakku panik.

Hanya neraka-lah tempat aku akan berada kalau dia tahu aku akan pindah lagi. “ Aku yang akan memberitahukannya, Mom, jadi plis? Jangan bahkan memberinya satu petunjuk akan kita akan pergi.” “ Ryker, aku tidak bisa melakukan itu, aku harus…” “ Kalau gitu beritahu dia saat ia mau pulang, OK? Saat ia sudah selesai kerja. Dia akan stress, Mom, aku tahu dia. Dia… dia…” aku tergagap – gagap. Dia apa? Mantan pacar? Mantan tetangga? Teman baik? Soul mate? “ Dia sekelas denganku..” Mom menatapku dengan pandangan aneh. “ Baiklah Ryker, tapi ini hanya karena kamu lebih tahu Alice daripadaku. Tolong jelaskan ke dia semua alasannnya , OK?” “ Ya.”

Alice datang 15 menit kemudian. “ Pagi Mrs. Freddickson.” Sapanya ceria. Aku yang duduk di ruang TV merasa rambutku tambah tegak. “ Pagi. Jagalah Ashley, ya?”

“ Ya, tentu!” setelah Dad juga siap, mereka berdua pergi. Alice melambaikan tangan lalu masuk ke ruang TV, dimana aku tetap duduk di sofa. Ia berhenti saat melihat bagaimana barang – barang sudah di-packing dan kardus – kardus berkeliaran. Ia menatapku heran. “ Rumahmu mau direnovasi?” tanyanya heran. “ Nggak.” “ Terus?” aku berdiri. “ Alice, bisakah aku memintamu untuk melakukan sesuatu yang sangat teramat susah?” “ Apa contohnya?” “ Ya.. tetap tenang.” “Yeah, bisa.” “ Oh, bagus… emmm…” aku menggaruk leher belakangku. Lalu aku menatap ke matanya, tapi aku tidak bisa mengatakannya. “ Kenapa?” tanyanya, saat melihat raut mukaku. Aku menatap ke arah lain. Saat meliriknya, raut wajahnya mulai berubah jadi takut. Ia sudah menebak hal itu.

“ Tidak… tidak mungkin…”
“ Ashley kemarin masuk rumah sakit, ternyata ia nggak cocok sama udara di sini…”
“ Jadi… kamu akan…”
“ Anjuran dokter adalah untuk memindahnya ke Negara dengan 4 season. Dad merasa Jepang cukup baik, apalagi itu kampung halamannya..”
“  Ryker? Jawab aku, sialan, apakah kamu akan…”
“ Sori Lis, tapi itu benar… Aku akan…”

Lalu aku dan dia mengatakan hal itu bersama – sama,

“ Pindah.”

Kata itu rasanya memberi efek samping yang sama ke kita berdua. Ia tampak lupa caranya untuk bernapas dan aku sendiri merasa ingin muntah. Ia sudah tahu sekarang. Tiba – tiba Alice menatap ke arahku, “ Aku membencimu.” Ujarnya. “ Alice, jangan…” tapi ia mulai berlari ke arahku.

OH TIDAK. Dia kumat lagi! Aku langsung lari seribu langkah ke arah yang berlawanan. “ RYKER, KEMBALI KE SINI DASAR DODOL!” “ AAAAH! SETAN!!!” jeritku. Aaah… nostalgia… di saat yang super duper salah. Aku lari ke lantai 2 dan dia tetap mengejarku. Akhirnya hal terakhir yang bisa aku lakukan adalah lari ke loteng yang bisa dikunci dari dalam. Aku membanting pintu loteng tutup dan menguncinya buru – buru sebelum dia sempat menendang pintu terbuka dengan kejam.

“ BUKAIN!”
“ NGGAK!!”
“ BUKA!”
“ NGGAK MAU!! KAMU GILAAAA!”

Akhirnya kita berdua diam. Aku bersandar di pintu dan mendengar ia melakukan hal yang sama. Tiba – tiba suara ringtone HP-ku mengisi loteng. SMS. Dari? Siapa lagi kalau bukan Alice?

Bukain pintunya

Aku mengetik balik.

Dgn kamu yg lg gila? no way

Jwb kalo gitu, sejak kpn kamu th?

Persis kemarin lusa

Knp g ngomong k ak?

Krn ak g th cr ngomong k kamu,sori

TDK DITERIMA

Aku menghela napas panjang. Belum aku selesai mengetik sms baru, ia membalasku lagi.

Itu g adil, knp kamu yg harus pergi?

Aku membalasnya.

Pikiran kita slalu bersama itu naïf, th?

Trus knp? Naïf itu juga bgs.

Bgs dr Hongkong, ya? Sdhlah, tdk ad cr utk mengubahnya

Dia terus menekanku hingga aku akhirnya tidak punya jawaban lagi untuk semua pertanyannya. Kapan pergi. Bagaimana Ashley. Ke mana. Apa yang akan terjadi dengan rumah ini. dan begitu banyak pertanyaan lainnya. Akhirnya pulsaku habis hingga aku bahkan tidak bisa meng-sms 1 text pun. Jadi aku membuka pintu loteng dan menatapnya persis di matanya. Ia memandangiku. Aku balas memandangnya.

Lalu aku berbisik pelan, “ Jangan menangis..” “ Aku nggak akan menangis, idiot” Katanya keras kepala, menoleh ke arah lain. “ Ashley rasanya sudah bangun mendengar kita kayak gini…” “ Apakah ia tahu akan pindah?” “ Tahu, tapi jangan menunjukkannya kepadanya… ia sudah kenal kamu dengan baik.. kalau kamu kelihatan sedih aku akan pindah, ia akan menangis.” “ Aku tahu.. aku tahu..” “Berakting biasa, Ok?” “ Hmph..” Alice memandang ke arah lain dan tidak memberiku jawaban ‘ ya’ atau ‘ OK’ bahkan sedikit anggukan seperti yang kuharapkan. Ajaibnya, ia, dan aku juga, berhasil. Ashley sama sekali tidak memerhatikan bagaimana kita dengan canggung mencoba membuat percakapan yang biasa dan ikut main dengannya. Aku dan Alice sama sekali tidak saling pandang. Kita mengusahakan untuk tidak saling berbicara.

Saat Mom dan Dad kembali pulang, dan setelah mereka selesai memastikan Alice mengerti dia tidak akan kerja untuk kita lagi, ia beranjak pergi. Dan tiba – tiba saja, aku merasa perlu untuk melarikan diri dari rumah lagi, sama seperti tadi siang, meskipun reaksi darinya mungkin akan sama dengan Nerd Club… Cuma lebih menyakitkan. Aku berkata dengan cepat ke Mom aku akan mengembalikan sepeda rental yang belum aku kembalikan dan mengantar Alice pulang sekalian. Alice tampak mau mengelak, tapi tidak bisa. Aku mengambil sepeda itu, menaikinya, menunggunya naik, lalu setelah yakin ia sudah siap, aku menginjak pedal, dan kita berdua saja.

Suatu saat, aku merasakan tangannya memegang bahuku. Mencengkramnya pelan. Aku tidak menoleh. Ia diam saja. Kenapa dia tidak ngomong? Batinku merana. Katakan apapun, plis, itu lebih baik daripada diam.. aku berkeliling kota. Kita melewati pantai, tempat aku melihatnya nangis pertama kali. Kita melewati mall, tempat kita ice skating. Kita melewati apartemen tempat dia dan aku makan pesanan fast-food kita. Dan kita melewati sekolah. Tempat semuanya berawal, tempat aku pertama kali melihat dan mengenal Alice. Aku mulai beranjak ke rumahnya, ketika tiba – tiba Alice berkata, “Ryke, stop.” Aku mengerem dan memandangnya kaget. Ia berdiri dari sepedaku lalu berjalan. Kita telah berhenti di depan taman bermain, lengkap dengan ayunan dan jungkat jungkit segala.

Alice duduk di ayunan yang kiri. Aku menahan sepedaku di sebuah tiang listrik, dan duduk di ayunan yang kanan.  Aku memandang sekeliling dengan canggung. Apakah dulu kita sering ke sini? Waktu masih umur 4? Aku tidak ingat. Aku menoleh ke arahnya, tapi ia tidak menoleh. Tiba – tiba saja aku merasa ia benar – benar kekanak-kanakkan, dan kurasa aku juga muak. Untuk sesaat aku ingin hanya pergi dari situ dan meninggalkannya begitu saja. Tapi aku tahu itu tidak akan memperbaiki keadaan. Jadi aku mengalah. “ Sori.” Ujarku. Entah berapa kali aku telah mengatakannya hari ini, dan tidak diterima oleh siapapun. Ia berdiri, “ Aku tidak mau diantar pulang.” “Kena-“ ia menggeleng tanda tidak mau bicara lagi. Aku mengangguk, merasa kalah. Kita berjalan sejajar seperti bagaimana aku selalu suka bagaimana kita berjalan bersama. Kita juga berjalan super duper pelan, mungkin karena kita tidak akan jalan bareng lagi. Aku mengambil sepeda itu dari tiang, dan menoleh kepdanya. Lalu ia menatap ke arahku dan aku ke arahnya.

Selamat tinggal? Sampai jumpa? Bagaimana cara mengatakannya? Kita selalu berkata bye. Tapi bye tidak cocok untuk ini. Bye berarti tidak akan bertemu hingga besok. Besok, lebih tepatnya besok lusa, aku akan benar – benar tidak bertemu dengannya lagi. Rambut coklatnya tertiup angin, dan mata hijau tuanya masih jernih. Kita diam selama 1 menit yang terasa seperti 11 jam. Akhirnya ia mengatakannya.

“ Good night, Ryke.”

Jadi aku membalasnya, “Good night, Lis.”

Lalu aku menginjak pedal dan mengayuh pergi.

Aku mendengarnya menangis.

Sesenggukan kecil saja, tapi aku tahu ia menangis. Aku tidak berani menoleh. Mungkin itu hal yang benar. Karena itu akan berarti aku masih mau hubungan kita berlanjut. Bukankah itu tidak apa – apa sebenarnya? Ataukah salah karena sama dengan membohongi diri sendiri? Aku tidak tahu. Yang kutahu adalah, kita sudah selesai. It’s over. Finish. The end. Good night.

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

Signe Hansen

Lifestyle, Plants and Everything In-Between

Musings of an ordinary soul

A place where i’m going to pen down my thoughts about the photographs that i take. Be my listener. Be my audience. Be my speaker. You and Me. So what say? Let’s begin.

Cokelat dan Hujan

Penikmat cokelat hangat dan hujan

JENITA DARMENTO

Indonesian Travel, Food and Lifestyle Blogger

Misty Angel

Whispers in the woods

Field of Thoughts

I hereby sow my thoughts and interests here.

Talanimo

Where all thoughts are spoken

Teras Rumah

Bercerita di sini

Bibliophile

Seorang anak kecil pun bahagia ketika bisa membaca dan menulis